Kamis, 31 Januari 2013

Teori CDMA Dari Telkom

Analisis Performansi Jaringan CDMA

Oleh : Hazim Ahmadi *)

Memang menyebalkan kalau saat berbicara di telepon seluler untuk urusan penting tiba – tiba hubungan telepon kita terputus dan ketika mau menghubungi lagi sulit mendapatkan saluran. Bagi operator penyelenggara jaringan hal seperti ini harus diwaspadai kalau tidak ingin pelanggannya dengan mudah berpindah ke operator lain. Sedangkan bagi para insinyur telekomunikasi ada baiknya untuk mengetahui mengapa hal ini terjadi apalagi bagi kalangan yang ingin lebih dalam memahami dunia seluler.

Permasalahan unjuk kerja pada jaringan yang masih baru, sering dialami oleh operator telekomunikasi seluler baik yang berbasis GSM maupun CDMA. Kejadian seperti dropcall ketika sedang berbicara, gagal hand off, atau call set up yang lama adalah hal yang biasa ditemui. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kejadian tersebut, baik karena perancangan sisi radio atau perencanaan PN, peramalan trafik yang tidak tepat, perencanaan link budget yang kurang, dan pada ujungnya adalah karena desain jaringan yang tidak optimal. Dalam tulisan ini akan dipaparkan mengenai berbagai hal yang mempengaruhi unjuk kerja jaringan CDMA beserta pemecahannya.

Istilah CDMA
Sebelum dibahas lebih lanjut ada beberapa istilah yang akan digunakan dalam analisis yang harus dipahami dulu. Disini digunakan terminologi mobile station (MS) untuk menyatakan terminal secara umum apakah terminal bergerak ataukah tidak. Sedangkan base station kadang sering digunakan untuk menyatakan entitas BTS.

Eb/I0 atau Eb/N0 merupakan perbandingan antara energi tiap bit sinyal informasi terhadap sinyal interferensi atau sinyal derau (noise) yang menyertainya. Pada intinya adalah perbandingan antara kuat sinyal yang dikehendaki terhadap kuat sinyal yang tidak dikehendaki. Makin besar nilai Eb/I0 akan makin memberikan performansi yang lebih baik.

FER (frame error rate) suatu perbandingan antara frame error terhadap frame yang diterima dengan baik. Merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur permasalahan kualitas suara dan cakupan layanan. Nilai FER direpresentasikan dalam prosentase, misalnya 2% artinya hanya 2 frame dari 100 frame yang dikirimkan diperbolehkan mengalami kesalahan. FER pada sistem CDMA yang baik adalah nilainya rendah baik untuk arah BTS ke terminal MS (forward) maupun arah terminal MS ke BTS (reverse).

Cell Coverage atau cakupan mengandung arti suatu area yang masih berada dalam wilayah layanan dari base station sel tersebut. Komunikasi yang menghubungkan baik dalam arah forward maupun reverse harus berada dalam kondisi sama baiknya.

Processing Gain. Ialah perbandingan antara lebar bandwidth sinyal pembawa (W) terhadap sinyal informasi yang dikirimkan dalam hal ini yang digunakan adalah vocoder rate atau rate set (R). Rate set yang digunakan dalam CDMA adalah vocoder 9.6 kbps dan 14.4 kbps. Perbandingan W/R untuk vocoder 9.6 kbps adalah 21.072 dB dan untuk vocoder 14.4 kbps adalah 19.311 dB, dimana W sebesar 1.228 MHz. Processing gain akan mempengaruhi banyak hal dalam sistem CDMA diantaranya adalah cakupan dan kualitas suara.

Mean opinion score (MOS). Ialah representasi kualitas suara yang dilakukan dengan membandingkan antara vocoder satu dengan vocoder lainnya menurut opini pendengar secara rata – rata di dalam ruangan yang bebas interferensi suara dengan perlakuan yang sama, oleh orang yang sama dan dalam kondisi yang sama. Pembobotan dilakukan dengan memberikan nilai satu sampai dengan lima, dimana nilai satu adalah kualitas terburuk dan lima adalah terbaik. Contoh kualitas suara untuk telepon PSTN dengan PCM mempunyai nilai MOS sekitar 4,1.

Parameter Performansi Jaringan Seluler
Pada dasarnya unjuk kerja atau performansi sistem seluler baik berbasis sistem CDMA maupun GSM dapat diukur dengan melihat beberapa parameter Quality of Service (QoS) jaringan. Operator seluler di negara maju melakukan pengujian unjuk kerja jaringannya secara periodik sebelum mendapatkan komplain layanan dari pelanggan. Berikut ini contoh beberapa parameter yang digunakan untuk mengukur performansi jaringan di Singapura untuk ketiga operator disana yaitu SingTel Mobile, Starhub Mobile dan M1 Mobile. Parameter ini juga sering disebut sebagai Key Performance Index (KPI).
Call success ratio. Atau rasio keberhasilan panggil didasarkan pada jumlah panggilan sukses terhadap total jumlah panggilan yang dilakukan.
Service coverage. Atau cakupan layanan didasarkan pada kekuatan sinyal dan kemampuan jaringan dapat tetap mempertahankan kuat sinyal sebesar –100dBm atau lebih baik selama periode panggilan terjadi.
Voice Quality. Atau kualitas suara didasarkan pada kemampuan jaringan memberikan tingkat kualitas suara yang dapat diterima dengan baik dengan metode MOS dan merupakan informasi komplemen dari cakupan layanan.

Call Drop-out atau Drop call. Parameter ini didasarkan pada ketidakpastian jaringan mengalami putus hubungan saat terjadi panggilan oleh terminal MS oleh jaringan dalam waktu 100 detik selama periode panggilan untuk tiap terminal MS.

Fenomena dan Analisis Jaringan Radio CDMA
Faktor penyebab keempat QoS di atas saling terkait satu dengan yang lain. Untuk itu dalam menganalisis sistem CDMA tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Ada trade-off antara area cakupan, kapasitas sistem dan kualitas suara saling mempengaruhi sehingga ketika salah satu performansi dinaikkan maka dua yang lain akan menurun. Sedangkan pada call success ratio selain dipengaruhi oleh kuat sinyal Eb/I0 pada sisi radio, faktor yang sangat menentukan adalah sisi dimensioning jaringan.

Area Cakupan
Terminal MS akan dapat terlayani oleh sistem CDMA bila nilai Eb/I0 yang dia butuhkan cukup. Margin daya dibutuhkan untuk mengatasi adanya perubahan kondisi lingkungan yang menyebabkan Eb/I0 turun di bawah level yang dipersyaratkan. Eb/I0 yang dibutuhkan pada batas cakupan suatu sel ditentukan oleh sinyal pilot Eb/I0 yang dibutuhkan oleh tiap terminal ditambah dengan margin daya. Rendahnya harga Eb/I0 disebabkan karena sinyal pilot yang diterima oleh MS rendah. Solusinya adalah dengan meningkatkan nilai sinyal daya pada base station atau bila memang redaman yang terjadi sangat tinggi yaitu dengan menambah jumlah sel (base station).

Penggunaan rate set pada sistem juga akan mempengaruhi luas cakupan yang bisa dilayani. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa rate set yang digunakan akan menentukan processing gain yang akhirnya mempengaruhi penerimaan Eb/I0 di sisi terminal MS. Perbedaan processing gain antara rate set 9.6 kbps dengan rate set 14.4 kbps sangatlah signifikan, dimana sistem yang menggunakan rate set 9.6 kbps sekitar 1.76 dB lebih baik. Bisa jadi suatu tempat atau lokasi yang semula ketika sistem menggunakan rate set 9.6 kbps mendapatkan layanan maka ketika diganti dengan rate set 14.4 kbps kemungkinan akan tidak terlayani. Sebagai informasi saja TELKOMFlexi menggunakan kedua rate set ini di dalam jaringannya.

Sel pada sistem CDMA mempunyai karakteristik berkerut (mengecil) ketika beban mendekati ambang beban maksimum yang bisa dilayani oleh transmiter sel. Hal ini menyebabkan pelanggan yang berada di perbatasan cakupan yang mulai mengkerut akan tidak mendapatkan layanan ketika terjadi pengkerutan. Untuk itu pelanggan tersebut harus dilimpahkan ke sel tetangga yang sedang mempunyai beban lebih ringan. Orang mengatakan soft capacity untuk hal yang dialami oleh sistem CDMA ini. Gambar 1. menunjukkan perubahan cakupan layanan karena fenomena pengerutan sel.

cell breathing
Gambar 1. Perubahan cakupan karena fenomena cell shrinking (cell breathing). 1)

Kualitas Suara
Kualitas suara yang diterima oleh pelanggan dipengaruhi oleh vocoder set yang digunakan dan FER yang terjadi di jaringan. Vocoder 14.4 kbps digunakan untuk mendapakan kualitas suara yang lebih tinggi. Namun kualitas suara ini akan menurun kalau nilai FER meningkat. Sebagai contoh sistem CDMA yang menggunakan vocoder 14.4 kbps dan FER 1% mempunyai nilai MOS 3.94, dan ketika FER turun menjadi 2% maka nilai MOS 3.89.
Bila nilai FER dibuat tetap sedang jenis vocoder diubah, maka akan ada perbedaan kualitas suara antara sistem vocoder 9.6 kbps dan vocoder 14.4 kbps. Kualitas suara pada vocoder 9.6 kbps pada FER 1% secara kasar ekivalen dengan vocoder 14.4 kbps pada FER 3%. Dengan demikian vocoder 14.4 kbps memberikan kualitas suara yang lebih baik daripada vocoder 9.6 kbps pada nilai FER yang sama. Untuk mendapatkan suatu kualitas suara yang sama, sistem vocoder 9.6 kbps membutuhkan Eb/I0 yang lebih tinggi dibanding sistem 14.4 kbps. Gambar 2. menunjukkan hubungan antara MOS dan FER. Sebagai catatan kurva di sini hanya sebagai ilustrasi saja.

Gambar 2. Aproksimasi hubungan antara MOS dengan FER 2)

Kapasitas Sistem
Kapasitas pelanggan yang dapat dilayani oleh satu frekuensi pembawa sistem CDMA dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti coding rate yang digunakan, level Eb/I0 yang dibutuhkan tiap MS dan interferensi dari sel lain bila dalam sistem tersebut terdapat multiple sel. Secara umum kapasitas pelanggan dalam sistem CDMA dituliskan sebagai berikut: 

N = ((W/R) x Gs x Gv)/((Eb/I0)(1+f))
dimana:
W : bandwidth frekuensi pembawa sistem CDMA besarnya  1,228 MHz
R  : rate dari vocoder, 9.6 kbps atau 14.4 kbps
Eb : energi per bit
Io : kerapatan daya spektral interferensi
Gs : gain dari sektorisasi antena
Gv : gain dari aktivitas suara
‘f’ : prosentase interferensi dari sel lain.

Vocoder rate (R) yang digunakan mempengaruhi kapasitas jumlah pelanggan, dimana makin kecil coding rate yang digunakan makin besar kapasitas pelanggan yang bisa dilayani. Sistem yang menggunakan coding rate 9.6 kbps akan mempunyai kapasitas pelanggan lebih besar dibanding sistem yang menggunakan coding rate 14.4 kbps. Sedangkan Eb/I0 berpengaruh pada kapasitas dimana makin kecil Eb/I0 akan memberikan kapasitas pelanggan yang makin besar. Nilai Eb/I0 akan dipengaruhi oleh kekuatan sinyal yang diterima pelanggan dan interferensi yang terjadi di sistem baik oleh internal maupun eksternal sistem. Misal di pita frekuensi 1900 MHz, sistem CDMA mempunyai frekuensi kerja yang sama dengan sistem DECT. Bila sistem CDMA berada di lokasi yang sama dengan lokasi sistem DECT maka noise floor pada sistem CDMA akan naik sehingga nilai Eb/I0 naik.

Perbedaan sistem CDMA IS-95 dengan CDMA 2000 1x, salah satunya adalah penggunaan pilot pada kanal reverse di CDMA 2000 1x. Kanal pilot pada reverse ini memberikan kemudahan bagi terminal MS untuk mengolah coding dan mengukur sinyal dari base station sehingga menurunkan nilai Eb/I0. Itulah salah satu faktor yang menyebabkan mengapa sistem CDMA 2000 1x mempunyai kapasitas hampir dua kali lipat dibanding kapasitas sistem CDMA IS-95. Namun bila ada beberapa terminal IS-95A yang beroperasi di jaringan CDMA 2000 1x, maka kapasitas CDMA 2000 1x tidak akan dicapai dengan optimal karena terminal ini akan menaikkan Eb/I0.

Optimalisasi Jaringan
Performansi jaringan di lapangan akan terpengaruh oleh perubahan pembebanan. Bisa jadi pada sebelum jam 8.00 pagi dimana beban jaringan masih ringan, performansi bagus dan ketika jam 17.00 sore dimana trafik tinggi, performansi jaringan menjadi buruk. Aturan tangan kanan berlaku yaitu jaringan yang memberikan unjuk kerja buruk pada kondisi beban ringan maka akan lebih buruk pada kondisi beban puncak.

Sinyal Pilot
Suatu MS membutuhkan Eb/I0 yang cukup untuk dapat masuk ke dalam cakupan layanan suatu sel. Untuk itu agar semua MS yang berada dalam cakupan layanan dapat terlayani maka sinyal Eb/I0  harus dinaikkan bila rendah yaitu dengan menaikkan daya pancar base station. Namun bila redaman yang terjadi tidak dapat diatasi solusinya adalah dengan menambah base station.

Interferensi dan Solusinya
Interferensi pada arah forward link ditunjukkan dengan tingginya nilai FER karena nilai Eb/I0 rendah disertai dengan tingginya daya yang diterima oleh terminal MS. Terminal menerima daya yang tinggi disebabkan karena ia mengukur total sinyal yang ada pada seluruh pita sinyal pembawa, sehingga tingginya daya dan FER pada MS mengindikasikan banyaknya interferensi pada arah base station ke MS.

Setidaknya ada empat macam interferensi yang berpengaruh pada sistem CDMA. Pertama interferensi karena pengaruh kanal trafik arah forward dari BTS itu sendiri (home base station). Interferensi ini disebabkan karena semua kanal trafik dari base station dikirimkan ke terminal MS. Pemecahannya adalah dengan membatasi kanal trafik yang bisa digunakan oleh sel tersebut. Di sinilah perancang jaringan CDMA harus memperhatikan proyeksi pelanggan yang bisa mengakses atau dilayani oleh suatu base station pada kondisi puncak sehingga dapat dihindari terjadinya interferensi.

Interferensi arah base station ke MS yang kedua adalah interferensi yang disebabkan oleh transmisi daya overhead yang berlebihan dari base station tetangga (neighbour BTS). Orang juga sering menyebutnya sebagai pilot polution, karena di lapangan sinyal pilot adalah sinyal paling tinggi dibandingkan sinyal overhead lainnya. Solusinya adalah dengan mengurangi sinyal overhead ini dengan pengaturan kembali daya pancar terutama untuk kanal overhead dari BTS yang berdekatan.

Interferensi arah base station ke MS yang ketiga adalah interferensi yang disebabkan oleh transmisi kanal trafik dari base station lain. Sinyal interferensi ini merupakan jumlah dari total daya sinyal pada kanal trafik dari base station lain ke terminal MS di sel lain. Pemecahan dari permasalahan ini adalah dengan mengatur kembali orientasi antena tentunya dengan tidak mempengaruhi cakupan dari sel tetangga tersebut.

Interferensi terakhir yang terjadi pada arah base station ke MS adalah interferensi yang berasal dari sinyal non-CDMA. Sistem lain tersebut berada di pita frekuensi sistem CDMA yang digunakan. Contoh kasus pada interferensi ini adalah adanya sistem DECT yang kebetulan mempunyai frekuensi kerjas sama dengan sistem CDMA di pita 1900 MHz. Bila kedua sistem berada di lokasi dan frekuensi yang sama maka kedua sistem tersebut akan saling menurunkan performansi.

Sedangkan buruknya cakupan reverse-link ditunjukkan dengan tingginya nilai FER arah reverse-link karena rendahnya nilai Eb/I0 dan tingginya daya yang diterima terminal MS. Hal ini disebabkan karena power control terus menerus mencoba untuk mendekati reverse-link yang dikehendaki dengan cara menambah daya pancar base station. Ada tiga sumber yang menyebabkan interferensi reverse-link. Interferensi tersebut adalah karena transmisi kanal trafik oleh pelanggan lain dalam satu sel yang sama, interferensi karena kanal trafik oleh pelanggan lain dari sel yang lain, dan terakhir interferensi karena sinyal non CDMA. Solusinya hampir sama untuk mengatasi permasalahan interferensi pada arah forward.

Alokasi PN Offset 

Tidak seperti dalam sistem GSM dimana pembedaan antara suatu sel dengan sel yang lainnya ditentukan oleh frekuensi pembawa yang digunakan. Dalam sistem CDMA perbedaan antara suatu sel dengan sel lainnya terletak pada PN offset. Jika pengalokasian PN offset ini tidak tepat maka akan mengakibatkan ambiguitas identifikasi sel yang melayani suatu terminal MS. PN offset harus dibuat sedemikian rupa sehingga sel – sel yang berdekatan tidak saling mengganggu.

Indeks PN offset yang tersedia dalam sistem CDMA adalah 512 nilai unik. Antara indeks PN offset satu dengan yang lainnya berbeda 64 chip, sehingga total periodenya adalah 32768 chip. Satu chip itu sendiri berharga sekitar 0.814 mikrodetik. Ketika suatu sinyal pilot bergerak dari suatu sel ke arah MS maka akan terjadi tunda. Minimum tunda antara satu offset dengan offset lainnya yang diperbolehkan adalah 64 chip = 4.09 x d (kilometer). Sehingga dihasilkan interfal satu indeks PN offset adalah sekitar 15.6 km. 

Jika sinyal dari dua sel yang kebetulan mempunyai PN offset yang berdekatan mengalami tunda propagasi ke suatu MS maka akan terjadi ambiguitas deteksi PN offset. MS akan kesulitan melakukan akuisisi sistem karena tidak tahu sel mana yang sedang aktif melayaninya. Pada gambar dibawah digambarkan bahwa dua sinyal pilot dari dua sel yang mempunyai indeks PN offset yang berdekatan diterima oleh MS dalam interval 64 chip. Sistem penerima di MS akan bingung untuk menentukan mana sel yang berfungsi sebagai sel aktif dan mana sel kandidat. Ketika sinyal yang berasal dari sel aktif dianggap sebagai sel kandidat atau sel neighbour maka perintah handoff pun tidak bisa dilakukan akibatnya ketika dalam kondisi panggilan (busy) akan terjadi drop call.

pilot polution
Gambar 3. Ambiguitas identifikasi sel karena pilot polution 3)

Optimalisasi PN offset

Operator CDMA baru yang tidak pernah punya pengalaman sebelumnya, biasanya terjebak pada paradigma jaringan seluler berbasis GSM. Atau juga karena kampanye bahwa CDMA tidak memerlukan perancangan radio maka tanpa memikirkan alokasi PN offset, main pasang base station tanpa memperhatikan dampaknya. Memang dalam sistem CDMA tidak memerlukan perancangan radio tetapi memerlukan perancangan alokasi PN offset untuk tiap selnya agar tidak terjadi pilot polution. Bila hal itu telah terjadi apa yang harus dilakukan operator tersebut? Jawabannya adalah dengan merencanakan ulang re-use PN offset oleh sel – sel yang ada pada jaringan tersebut. Gol akhir dari usaha ini adalah membuat PN offset yang sama atau berdekatan tidak saling mempengaruhi antar sel tersebut dengan mengatur jaraknya.

Kesimpulan
Perancangan radio dalam sistem telekomunikasi berbasis seluler seperti CDMA tidak sekali jadi dan setelah itu operator tidak melakukan sesuatu apapun lagi. Namun perancangan tersebut bersifat continous improvement dimana ada usaha terus menerus untuk memonitor dan melakukan perbaikan karena performansi jaringan selalu berubah, baik oleh perubahan kondisi alam, perilaku pembebanan trafik ataupun karena perubahan di dalam jaringan itu sendiri.

Referensi
  1. Website www.reteumts.com/page_4.htm tentang cell breathing, 2003.
  2. Ketchum, J., M. Wallace, and R. Walton, “CDMA Network Deployment of 8 Kbps and 13 Kbps Voice Services,” Proc. Of International Conf. On UPC, IEEE, 1996.
  3. Dong Seung Kwon, “Rapporteur’s report for Study Question 3.1 Planning, Implementation and Operation for CDMA Technology and WLL System Implementation aspects”, ETRI, Korea, September 07, 2003.
  4. IDA Cellular Network Performance Measurement System Second report, Singapore, July 2000.

*) penulis bergabung dengan R & D Center PT TELKOM sejak tahun 1996. Bekerja di Laboratorium Wireless Access, untuk menangani teknologi yang berkaitan dengan seluler, seperti GSM dan CDMA. Beberapa pekerjaan yang sedang ditangani diantaranya adalah masalah interferensi pada CDMA dengan DECT, penggunaan SIM card (RUIM) pada CDMA, ISMSC untuk crossnetwork sms, dan kajian terminal CDMA. Terlibat aktif dalam organisasi PHS Mou Group, CDMA Development Group, IEEE dan Mobile Comm International magazine. Publikasi terakhir dipresentasikan pada Seminar International Mobile Data Services, di Seoul, Korea Selatan pada Agustus 2003, membawakan paper tentang CDMA network data optimization.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar